Catatan Kaki bagi Darwin
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBerbagai gagasan baru bermunculan: yang memperkuat dan yang berusaha menggoyang teori Darwin.
Setelah Charles Robert Darwin menerbitkan karyanya, On The Origin of Species by Means of Natural Selection, 155 tahun yang silam, apa yang masih bisa dilakukan oleh ahli biologi sesudahnya? Pertanyaan ini menyiratkan bahwa seolah-olah teori yang dibangun oleh Darwin sudah final dalam menjawab persoalan kehidupan. Ada dua hal pokok yang disampaikan Darwin lewat publikasi itu: pertama, dia ingin menunjukkan bahwa evolusi itu memang benar terjadi, dan kedua, bahwa evolusi itu terjadi melalui mekanisme seleksi alam.
Satu setengah abad adalah waktu yang relatif panjang untuk menguji gagasan Darwin, namun ternyata perdebatan tentangnya tak kunjung usai. Sesudah sempat memicu kontroversi di kalangan Victorian, karena dituding sebagai agitator ateis yang menggerogoti keistimewaan status moral manusia, gagasan seleksi alam Darwin tak begitu nyaring terdengar.
Di akhir abad ke-19, seleksi alam Darwin adalah pesaing kuat di tengah kerumunan teori-teori evolusi, tapi tidak memegang posisi utama. Hingga kemudian, pada 1930an dan 1940an, ahli-ahli biologi evolusioner seperti Erns Mayr dari Universitas Harvard mencoba menggabungkan gagasan Darwin dengan genetika (ahli-ahli genetika berutang budi kepada GregorMendel) yang menandai pengukuhan-ulang teori Darwin. Inilah yang oleh Julian Huxley disebut ‘sintesis modern’ dengan logika inti bahwa evolusi bertahap dapat dijelaskan dengan memanfaatkan pemahaman mengenai mutasi acak dan rekombinasi genetis. Dari sini dapat dipahami bagaimana organisme sederhana dapat berkembang menjadi organisme kompleks.
Genetika menemukan kekuatannya di tangan Richard Dawkins, guru besar Universitas Oxford. Karyanya yang mashur, The Selfish Gene (1976), mengubah fokus seleksi alam dari spesies yang menjadi perhatian Darwin menuju gen—yang dikritik oleh Edward O. Wilson, Darwinis lain yang memelopori sosiobiologi, sebagai “mematikan ide seleksi kelompok secara prematur”. Argumen Dawkins: yang terpenting dari seleksi alam ialah apakah gen tertentu—bukan individu ataupun kelompok individu—mereplikasi diri sehingga menghasilkan generasi masa depan. Gen-gen yang tidak mereplikasi diri pada generasi masa depan berarti gagal berevolusi, dan gen-gen yang menghasilkan banyak salinan dari dirinya berhasil berevolusi.
Dawkins seorang ateis dan pengritik tajam paham kreasionis. Dalam The Blind Watchmaker (1986), ia menentang argumen adanya pencipta alam semesta yang bersifat supernatural. Ia menerima teori Darwin, yang ia sebut “gagasan terpenting yang muncul dalam benak manusia,” sebagai penyingkapan alam yang tertinggi dan tanpa tandingan. Ia mengasah Darwinisme menjadi senjata yang menakutkan, yang ia gunakan untuk melenyapkan gagasan apa pun yang bertentangan dengan pandangan yang materialistis ini.
Ia berseberangan dan sering beradu-pikir dengan Stephen Jay Gould—ahli paleontologi dan mantan guru besar Universitas Harvard yang sudah almarhum. Dengan ambisi menumbangkan dominasi teori Darwin, dan yang diperbarui, Gould bersama Niles Eldredge memperkenalkan teori punctuated equilibrium. Menurut teori evolusi versi Gould spesies tumbuhan dan hewan muncul relatif cepat (kurang dari 100.000 tahun) dan bukan muncul melalui proses perubahan bertahap seperti yang dikatakan Darwin. Oleh para pengritiknya, nama teori punctuated equilibrium diplesetkan menjadi punk eek alias evolusi orang dungu.
Dalam majalah Nature (1993), Gould dan Eldredge menyatakan bahwa hipotesis mereka mungkin merupakan ‘perluasan yang berguna’ terhadap model dasar teori Darwin. Namun, menurut Gould, punctuated equilibrium memiliki frekuensi dominan yang besar sekali dalam catatan fosil, yang berarti gradualisme seperti disarankan Darwin memang ada, tapi tidak benar-benar penting. Darwin, kata Gould, memiliki jawaban yang benar tentang hubungan dasar organisme, tapi itu baru permulaan. Teori Darwin tidak menawarkan penjelasan yang memadai, apalagi komprehensif, mengenai perkembangan budaya atau kompleksitas perilaku manusia.
Dawkins mengritik keras pandangan Gould. “Hal terpenting adalah Anda menghadapi seleksi bertahap yang terus terjadi, sekalipun jika seleksi bertahap itu dipaksakan ke dalam masa yang singkat,” kata Dawkins. “Jadi saya tidak melihat teori (Gould) ini sebagai point penting. Saya lebih melihatnya sebagai serpihan yang cukup menarik dalam teori neo-Darwinisme.” Kendati dalam isu teori evolusi, Gould dan Dawkins saling mengritik, perselisihan itu tidak masuk ke wilayah personal. Dawkins mempersembahkan bukunya, A Devil’s Chaplain, 2003, untuk Gould yang wafat setahun sebelumnya.
Pandangan ultra-Darwinis yang kerap dituding reduksionistik, yang mereduksi pemahaman terhadap makhluk hidup hanya sebatas pada gen-nya, juga dikecam oleh Lynn Margulis, guru besar Universitas Massachusetts di Amherst, AS. Jika Darwin dan pendukungnya menekankan peran kompetisi antarindividu dan spesies dalam evolusi, Margulis menyodorkan ide bahwa simbiosis memegang peran yang lebih penting. Simbiosis, kata Margulis, bisa menjelaskan kenapa spesies tertentu muncul begitu tiba-tiba dan kenapa mereka bertahan dalam penampilannya yang seperti itu untuk waktu lama tanpa berubah.
Margulis, yang kemudian berkolaborasi dengan James Lovelock untuk menggodog lebih jauh gagasan tentang gaia, tidak mempersalahkan premis dasar Darwin. Ia sepakat, evolusi memang terjadi, dan telah lama terjadi dan masih terus terjadi. “Pertanyaannya, bagaimana evolusi itu terjadi? Di sinilah orang berbeda pendapat,” kata Margulis. Ia mengritik kelompok ultra-Darwinis yang dianggapnya gagal menjelaskan bagaimana spesiasi (terbentuknya spesies) terjadi. Hanya teori yang mengakomodasi simbiosis dan seleksi-tingkat-tinggi yang bisa memahami keragaman catatan fosil dan kehidupan saat ini.
Stuart Kauffman, ahli biokimia di Sante Fe, AS, yang menekuni isu-isu kompleksitas, menuduh teori Darwin memiliki cacat serius karena tidak dapat menjelaskan kemampuan ajaib kehidupan untuk muncul lalu mempertahankan diri dengan cara yang luar biasa. Dalam karyanya, The Origin of Order: Self-Organization and Selection in Evolution (1993), Kauffman menyodorkan ide bahwa prinsip pengorganisasian diri, yang terkadang ia sebut antichaos, berperan lebih besar daripada seleksi alam dalam mengarahkan kehidupan, terutama ketika kehidupan itu berkembang dalam kompleksitas.
Ide Kauffman ini dikritik oleh Gould. Namun, karena keduanya memiliki kesamaan, yakni menentang status quo Darwinisme, Gould menganut pepatah lama: “Musuh dari musuhku adalah temanku.” Kauffman mengritik gagasan yang disebarkan Dawkins sebagai sangat kaku, mekanistis, dan tidak bersikap fair terhadap kemuliaan dan misteri kehidupan. Gagasan Kauffman, sebaliknya, juga dikritik—bahkan oleh mantan gurunya, John Maynard Smith, mantan guru besar Universitas Sussex dan pelopor penggunaan matematika dalam biologi evolusioner, sebagai tidak meyakinkan.
Kendati terus dikritik, bahkan memperoleh kecaman-abadi dari kalangan kreasionisme, Darwin terus membiakkan pengaruhnya. Edward O. Wilson, guru besar Universitas Harvard, mengembangkan gagasan Darwin ke dalam bidang yang kemudian disebut sosiobiologi. Karyanya, Sociobiology: The New Synthesis (1975), begitu kontroversial ketika terbit dan kemudian menjadi klasik. Wilson, yang dengan tekun meneliti semut, mendefinisikan sosiobiologi sebagai “studi sistematis mengenai basis biologis dari semua perilaku sosial.”
Wilson menerapkan prinsip-prinsip evolusi untuk menjelaskan perilaku serangga sosial guna memahami perilaku sosial hewan-hewan lain, termasuk manusia. Ia berpendapat, seluruh seluruh perilaku hewan, termasuk perilaku manusia, adalah produk hereditas dan stimuli lingkungan, serta pengalaman-pengalaman masa lampau—bahkan, warisan genetis berperan lebih besar. Kehendak bebas, karena itu, adalah ilusi. Di sinilah letak kontroversinya: sehingga, misalnya, apakah perilaku kriminal seseorang merupakan akibat sifat-sifat yang diturunkan?
Gagasan evolusi juga dikembangkan oleh mantan murid Wilson, Steven Pinker. Dalam bukunya, The Langugae Instinct, psikologi kognitif ini berpendapat bahwa kapasitas manusia dalam berbahasa adalah bagian dari berkah genetis kita. Berkah ini terkait dengan evolusi melalui seleksi alam terhadap jaringan saraf khusus di dalam otak. Pemahaman Pinker ini tidak lepas dari ide-ide yang dikembangkan mengenai fungsi otak oleh pendukung neural Darwinism, seperti Gerald Edelman lewat bukunya The Mindful Brain (1978) yang kemudian diperluas dan diterbitkan kembali pada 1989 dengan judul Neural Darwinism - The Theory of Neuronal Group Selection.
Pinker menunjukkan bagaimana tubuh manusia mampu menciptakan sistem adaptif kompleks sebagai respons atas kejadian-kejadian lokal dengan mekanisme umpan-balik. Pandangan serupa ini berkembang dalam pengetahuan yang memelajari perkembangan otak (brain science): otak yang terkait inderawi berusia 500 juta tahun, yang berhubungan dengan emosi 200 juta tahun, dan yang rasional berusia 100.000 tahun.
Entahlah, apakah Darwin membayangkan pengaruhnya akan sejauh itu ketika ia menerbitkan On The Origin of Species. Sebab, di antara klaim-klaim bahwa teori seleksi alam adalah satu-satunya penjelas bagi evolusi makhluk hidup, Darwin mengakui bahwa fenomena evolusi yang kompleks tak bisa sepenuhnya bersandar pada satu penyebab tunggal apapun. Karena inilah, Gould berpendapat bahwa biologi evolusioner barulah langkah permulaan untuk menyingkap kehidupan manusia.
Dalam waktu dekat ini, kita mungkin tidak akan menyaksikan tumbangnya teori seleksi alam Darwin, yang digambarkan oleh Gould sebagai “revolusi ideologis terbesar dalam sejarah.” Sejauh yang berkembang saat ini, berbagai penemuan—termasuk penemuan struktur DNA oleh Watson dan Crick (1953)—tampaknya memperkuat intuisi Darwin. Jadi, untuk sementara, yang dapat dilakukan oleh banyak ilmuwan pendukung saat ini ialah terus menambahkan catatan kaki atas karya Darwin. Untuk menggoyang teori Darwin dibutuhkan upaya luar biasa. Kauffman dan Gould sudah mencoba, tapi upayanya tak cukup kuat untuk menggoyang Darwin. **

Penulis Indonesiana
1 Pengikut

Di Musim Corona, Hati-hati Jangan Sampai Menghina
Selasa, 14 April 2020 05:33 WIB
Bila Jatuh, Melentinglah
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler